Jumat, 16 Januari 2015

BUDAYA SUNGKEMAN DALAM BUDDHIS

Dalam ajaran Buddhisme budaya sungkeman ini merupakan hal yang sangat baik dan dapat menambah kebajikan bagi yang melaksanakannya, karena hal itu sudah merupakan menjalankan salah satu dari caritta sila yaitu melakukan kewajiban kepada orangtua dengan berbakti (sungkem). Seperti dalam isi Manggala Sutta dijelaskan tentang hal yang berkenaan dengan manfaatnya berbakti kepada orang yang lebih tua yaitu,sebagai berikut :
Syair  kelima, “Matapitu Upatthanam” atau “membantu ayah dan ibu”. Matapitu Upatthanam juga dapat diartikan sebagai memberi bantuan yang cukup, menjaga dengan baik, merawat dengan baik ayah dan ibu. Didalam budaya Timur, seseorang anak masih tetap berhubungan erat dengan kedua orangtua nya meskipun telah dewasa, telah menikah dan mempunyai keturunan, ia tetap berkewajiban untuk berbakti kepada ayah dan ibunya serta kepada mertuanya. Dari kutipan syair ini sungkeman juga dikatakan sebagai wujud bakti kepada orang tua. Dalam kitab suci Anguttara Nikaya II kelompok 4 disebutkan juga oleh sang Buddha bahwa terdapat empat ladang yang utama untuk menanam kebajikan, yaitu: yang pertama adalah Buddha, yang kedua adalah Dhamma, ketiga adalah sangha dan keempat adalah ibu dan ayah. Sang Buddha juga menyebut bahwa Brahma, Guru-guru awal, Dewa-dewa awal dan mereka yang pantas dipuja merupakan istilah-istilah untuk ayah dan ibu yang harus dihormati oleh anak-anaknya dirumah, dikatakan seperti itu karena orangtua amat banyak membantu anak-anaknya, membesarkan anak-anaknya, dan menunjukan dunia kepada anak-anaknya.
Dari syair ini dapat di katakan bahwa sungkem kepada ayah dan ibu dapat menambah kebajikan yang kita lakukan dengan wujud hormat dan berbakti serta dengan tulus meminta maaf atas segala kesalahan saat melangsungkan acara sungkem tersebut. Seorang anak muda atau seorang anak harus menghormati orang yang lebih tua khususnya orangtua, yang oleh sang Buddha sendiri dikatakan sebagai Dewa. Menghormat dengan pelayanan yang penuh rasa bakti dan kasih sayang yang dapat menggembirakan hati mereka dalam usia tuanya. Dengan melakukan sungkem juga seorang anak membalas budi orangtuanya dan merupakan penghormatan yang lebih baik dari pada melakukan pemujaan terhadap dewa-dewa yang mereka sendiri tidak mengetahuinya.
        Syair kedelapan, “Garavo” atau “selalu hormat”. Garavo dalam syair ini dapat diartikan sebagai menghormat. Dalam hal ini termasuk menghormat Sang Buddha, Dhamma, Sangha, orangtua, Guru, orang bijaksana, orang-orang yang baik, orang yang dituakan ringkasan semua pribadi yang dianggap lebih tinggi kedudukannya. Dalam tradisi Buddhis, rasa hormat atau sungkeman diperlihatkan dengan sikap Vandana, Anjali, Utthana, dan Samicikhamma. Vandana dapat diartikan dengan bersujud menyentuh lantai dengan lima titik, yaitu: kening, kedua sikut, dan kedua lutut. Anjali berarti menghormat dengan merangkapkan kedua telapak tangan didepan dada. Utthana berarti menghormat dengan berdiri menyambut orang yang dihormati. Dan Samicikhamma berarti cara lain untuk memperlihatkan penghormatan kepada seseorang. Inilah Mangala yang membawa kelahiran yang baik dimasa mendatang dan keselarasan dalam hidup sekarang ini. Sudah jelas bahwa dengan melakukan sungkem kepada orang yang dituakan atau orangtua maka kita sudah menjalankan ajaran Buddha yang benar pada syair kedelapan dalam Mangala Sutta ini serta dapat mengondisikan dirinya terlahir dialam yang berbahagia.
Syair kedelapan, “Nivato” atau “rendah hati”. Dalam syair ini juga menekankan bahwa pentingnya tanpa kesombongan, yaitu saat melakukan sungkem maka orang telah memiliki sifat rendah hati karena mereka menganggap bahwa ketika melakukan sujud kepada orang tua atau orang yang dituakan merupakan bukan sebagai orang yang rendah derajatnya atau tercela  walaupun orang tua tidak berpendidikan sedangkan dia seorang pejabat, melainkan mereka berpikir bahwa dengan bersujud dihadapan orangtua atau orang yang dituakan merupakan wujud rasa hormat dan bhakti kepada orang yang lebih tua dan yang patut dihormati.
Didalam Sigalovada Sutta, dijelaskan bahwa sebagai seorang Buddhis yang baik maka harus memperlakukan orang tuanya dengan cara: menyokong mereka dihari tuanya, melaksanakan tugas mereka, memelihara tradisi keluarga, membuat dirinya layak sebagai pewaris dan melimpahkan pahala kebajikan kepada orangtua dan sanak keluarga nya yang telah meninggal. Dalam ajaran Sang Buddha tentang Ariyasa Vinaya (tata peraturan ariya), beliau menjelaskan bahwa ada enam penjuru yang harus dipuja dan dihormat. Enam penjuru dalam ajarannya tersebut mempunyai arti sebagai berikut; Timur berarti orang tua; Selatan berarti guru; Barat berarti anak dan istri; Utara berarti sahabat, Sanak keluarga dan para tetangga; Nadir (bawah) berarti pelayan atau karyawan; dan Zenith (atas) adalah rohaniawan. Enam kelompok orang-orang yang disebut diatas, dalam agama Buddha diperlakukan sebagai sesuatu yang keramat dan berharga untuk dihormati dan dipuja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar