HUKUMAN MATI DI TINJAU DARI AJARAN
BUDDHA
Oleh
: Eka Yeli Febriani
PENDAHULUAN
Hukuman mati
merupakan hukuman yang masih dipertahankan disalah satu Negara yaitu Indonesia.
Hukuman mati ini salah satu cara untuk menghukum pelaku tidak kejahatan berat.
Dalam rancangan KUHP diatur dalam Pasal 86 sampai dengan pasal 89 pengaturan
hukuman mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk
menghukum pelaku kejahatan berat, sehingga keberadaan hukuman mati diindonesia
akan terus berlangsung dalam waktu yang akan datang. Di Indonesia ini sudah
puluhan orang dieksekusi mati mengikuti system KUHP. Bahkan selama Orde baru
korban yang di eksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik[1].
Dalam pasal 28 ayat (1) UUD 1945 sudah menyebutkan “ Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi didepan umum,dan hak untuk
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tetapi peraturan
perundang-undanganan dibawahnya tetap mencanutmkan ancaman hukuman mati. Pidana
mati ini dilaksanakan adalah untuk melindungi masyarakat. Karena ketika
seseorang takut melakukan kejahatan dimasyarakat maka Negara itu akan tenteram bebas
dari kejahatan berat dan pelanggaran serta untuk membuat para masyarakat yang
lain takut dan tidak melakukan kejahatan. Namun hal ini tidak dihiraukan oleh
masyarakat di Indonesia sehingga banyak yang melakukan kejahatan dan dihukum
mati. Bahkan di suatu kota di Indonesia memiliki cara serta pelanggaran
kejahatan yang dapat dihukum mati sendiri biasa di sebut sebagai hukum adat.
Seperti di Aceh jika seorang istri melakukan berzinah dengan laki-laki lain
maka harus dibunuh sedangkan di Minangkabau menurut pendapat konservatif dan
datuk ketemanggungan dikenal hukum membalas yaitu siapa yang mencurahkan darah maka
orang tersebut juga harus dicurahkan darahnya. Dari data-data yang ada jika
ditinjau secara umum bahwa hukuman mati itu wajib dilaksanakan jika ada
seseorang yang melakukan kejahatan berat didalam masyarakat. Bagaimana jika
ditinjau dari ajaran Buddha ? apakah dalam ajaran Buddha juga membenarkan dan
mendukung pelaksanaan hukuman mati di Indonesia ini ? apa malah sebaliknya
bahwa ajaran Buddha menentang hal demikian, serta apakah tokoh-tokoh umat
Buddha ada yang ikut andil dalam masalah ini ?
HUKUMAN MATI
Hukuman mati merupakan hukuman yang
diberikan kepada pelaku kejahatan berat. Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan
bahwa KUHP Indonesia Membatasi kemungkinan dijatuhkannya hukuman mati atas
beberapa kejahatn-kejahatan berat saja. Kejahatan-kejahatan berat itu
dijelaskan sebagai berikut :
1.
Pasal
104 yaitu berisi tentang kejahatan maker
terhadap presiden dan wakil Presiden;
2.
Pasal
111 Ayat 2 berisi membujuk Negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
permusuhan itu terjadi dan menjadi perang;
3.
Pasal
124 ayat 3 berisi membantu musuh waktu perang;
4.
Pasal
340 berisi pembunuhan berencana;
5.
Pasal
365 ayat 4 berisi pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati;
6.
Pasal
368 ayat 2 berisi pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati;
Kejahatan-kejahatan demikian yang
mengakibatkan hukuman mati di Negara Indonesia. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia
menjadi bahan pembicaraan yang cukup actual dan polemik yang berkepanjangan
bagi Negara-negara yang beradab. Hal ini di dasari bahwa penerapan hukuman mati
tidak sesuai dengan falsafah Negara Indonesia yang menganut paham pancasila,
yang selalu menjujung tinggi rasa prikemanusiaan yang adil dan beradab. Namun
dalam kenyataannya, penerapan hukuman mati apapaun alasannya dan kelogika nya
tetap dilaksanakan di Indonesia dari berbagai kasus tindak pidana yang ada.[2]
Hukuman mati ini merupakan hukuman yang
terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam bab 2 pasal 10 karena pidana mati merupakan
pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan
manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukum mati terdapat
banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat
itu sendiri.[3]
Hukuman mati tidak dapat dilaksanakan
bagi kejahatan yang dilakukan oleh orang dibawah umur 18 tahun dan juga
perempuan hamil.[4]
TINJAUAN DALAM AJARAN BUDDHA
Mengenai hukuman mati, dalam ajaran
Buddha tidak pernah dibicarakan tentang hukuman tata Negara,apalagi pelaksanaan
hukuman mati. Agama Buddha selalu mempertegas dan membicarakan proses sebab
akibat yang sering disebut sebagai hukum karma. Dalam Samyutta Nikaya I:227,
Sang Buddha bersabda sebagai berikut :
“sesuai dengan benih yang telah ditabur
, begitulah buah yang akan dipetiknya
Pembuat kebaikan akan mendapatkan
kebaikan, pembuat kejahatan akan mendapatkan kejahatan pula
Taburlah biji-biji
benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari padannya”[5]
Dari syair ini umat Buddha menyatakan
bahwa seseorang yang dihukum mati oleh Negara yang ditinggalinya disebabkan
karena suatu perbuatan dari masa lampau maupun sekarang yang menimbulkan hukum
karma terjadi pada kehidupan didunia sekarang. Karena dalam agama Buddha
mengenal suatu istilah tentang “ jika seseorang melakukan perbuatan jahat di
kehidupan lampau maupun sekarang, maka akan mendapatkan hasil yang sesuai
dengan perbuatannya (tidak bahagia) “ begitupun sebaliknya jika sesorang
melakukan perbuatan bajik di kehidupan lampau atau sekarang maka akan
mendapatkan hasil dengan hidup bahagia.
Sehingga dalam ajaran Buddha tidak ada
pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukuman
mati. Karena jika hukuman mati itu dibenarkan maka dalam agama Buddha seseorang
yang membenarkan tidak memiliki cinta kasih kepada semua makluk ( Metta) karena
dalam ajaran Buddha metta merupakan perbuatan yang harus dimiliki semua makhluk
dan juga seseorang itu memiliki pandangan salah karena membunuh makhluk hidup
merupakan pelanggaran pancasila buddhis yang pertama dan jika tidak dibenarkan
maka dalam agama Buddha seseorang yang tidak membenarkan tentang hukuman mati
tersebut belum mengetahui dan memahami tentang hukum karma atas
perbuatan-perbuatan buruk yang pernah pelaku lakukan. Maka dari itu alasan
inilah yang membuat dalam ajaran Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan
atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukuman mati.
Dalam Dhammapada,
bab X Danda Vagga ( Hukuman ) syair
129 dijelaskan bahwa : “semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan
kematian. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya
seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan”.[6]
Dari syair ini sudah jelas bahwa dalam ajaran Buddha tidak disarankan untuk
menyakiti orang lain.
KESIMPULAN
Dari artikel ini
dapat disimpulkan bahwa Agama Buddha tidak pernah membicarakan tentang hukuman
tata Negara melainkan umat Buddha selalu menegaskan tentang hukum karma. Dalam
ajaran Agama Buddha juga tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan
pelaksanaan hukuman mati. Karena agama Buddha mendefinisikan bahwa jika
seseorang menjadi pelaku hukuman mati tersebut maka itu ada hubungan nya dengan
perbuatan-perbuatan jahat (buruk) yang dilakukan pada kehidupan masa lampau
atau sekarang yang menghasilkan sebab penderitaan ketika meninggal yakni harus
dihukum mati yang biasa disebut sebagai hukum karma. Karena dalam pernyataan
ajaran agama Buddha jika seseorang selalu melakukan perbuatan bajik di
kehidupan lampau maupun sekarang maka akan menghasilkan akibat yang sesuai
dengan perbuatannya, yaitu selalu hidup dalam kebahagiaan. Jika ditinjau dari
sila seseorang yang berperan sebagai algojo (yg melakukan hukuman mati) maka
seseorang itu telah melanggar pancasila buddhis yang pertama yaitu melakukan
pembunuhan makhluk hidup. Akan tetapi jika ditinjau dengan hukum karma , antara
algojo dengan seseorang yang menerima hukuman mati ada hubungan karma di
kehidupan masa lampau.
SARAN
Dari sebuah artikel
yang ditulis ini, penulis menyarankan bahwa jika umat Buddha sudah mengenal
ajaran agama Buddha dengan benar maka seseorang itu harus memahami perbuatan
apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Serta berhubungan tentang hukuman
mati ini, seseorang harus bisa memberikan pendapat yang logis sesuai ajaran
Buddha yang telah didapatnya dan jangan pernah ikut membicarakan tentang hal
ini jika hanya untuk mendukung pelaksanaan tersebut, melainkan selalu
mamancarkan cinta kasih agar orang yang telah dihukum mati ketika dia meninggal
dapat terlahir dialam yang berbahagia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,M Zen.2009.Pelaksanaan Mati Di Indonesia Telaah Dalam
Konteks Hak Asasi Manusia.Jurnal Ilmiah Universitas Jambi. Hal.61
Kitab Suci Agama
Buddha.Samyutta Nikaya 1. Syair 227
Kitab Suci Agama
Buddha.Hukuman.Dhammapada Bab X Danda
Vagga. Syair 129
Mohammad.2011.Hkuman Mati Dan Hak Asasi Manusia Dalam
Peraturan Perundang-Undangan.Fakultas Hukum Universitas Madura:
Yustitia.vol.12
Piangga, Randy.2012.Penerapan Pidana Mati Dalm Sistem Hukum Di Indonesia.Skripsi.Surabaya:Program
Sarjana Hukum UPN Veteran. Jawa Timur
Waluyadi.2009. Kejahatan,Pengadilan dan Hukum Pidana.Bandung:Mandar Maju
[1] Mohammad,Hukuman Mati Dan Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan
Perundang-undangan,November 2011. Hal 1
[2] M.Zen,Abdullah, Pelaksanaan
Pidana Mati Di Indonesia Telaah Dalam Konteks Hak Asasi Manusia, Jurnal
Ilmiah Universitas Jambi.2009. hal.61
[3] Randy,Piangga, Penerapan
Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Di Indonesia , Skripsi S1 Fakultas hukum
,Surabaya.2012. Hal.22
[4] Waluyadi, Kejahatan,
Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung.2009. hal.57
[5] Kitab Suci Agama Buddha,Samyutta
Nikaya 1.Syair 227
[6] Kitab Suci Agama Buddha, Hukuman,
Dhammapada Bab X Danda Vagga. Syair 129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar