Minggu, 21 Desember 2014

Hukuman Mati Di Tinjau Dari Ajaran Buddha


HUKUMAN MATI DI TINJAU DARI AJARAN BUDDHA
Oleh : Eka Yeli Febriani
PENDAHULUAN
Hukuman mati merupakan hukuman yang masih dipertahankan disalah satu Negara yaitu Indonesia. Hukuman mati ini salah satu cara untuk menghukum pelaku tidak kejahatan berat. Dalam rancangan KUHP diatur dalam Pasal 86 sampai dengan pasal 89 pengaturan hukuman mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan berat, sehingga keberadaan hukuman mati diindonesia akan terus berlangsung dalam waktu yang akan datang. Di Indonesia ini sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti system KUHP. Bahkan selama Orde baru korban yang di eksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik[1]. Dalam pasal 28 ayat (1) UUD 1945 sudah menyebutkan “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi didepan umum,dan hak untuk tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tetapi peraturan perundang-undanganan dibawahnya tetap mencanutmkan ancaman hukuman mati. Pidana mati ini dilaksanakan adalah untuk melindungi masyarakat. Karena ketika seseorang takut melakukan kejahatan dimasyarakat maka Negara itu akan tenteram bebas dari kejahatan berat dan pelanggaran serta untuk membuat para masyarakat yang lain takut dan tidak melakukan kejahatan. Namun hal ini tidak dihiraukan oleh masyarakat di Indonesia sehingga banyak yang melakukan kejahatan dan dihukum mati. Bahkan di suatu kota di Indonesia memiliki cara serta pelanggaran kejahatan yang dapat dihukum mati sendiri biasa di sebut sebagai hukum adat. Seperti di Aceh jika seorang istri melakukan berzinah dengan laki-laki lain maka harus dibunuh sedangkan di Minangkabau menurut pendapat konservatif dan datuk ketemanggungan dikenal hukum membalas yaitu siapa yang mencurahkan darah maka orang tersebut juga harus dicurahkan darahnya. Dari data-data yang ada jika ditinjau secara umum bahwa hukuman mati itu wajib dilaksanakan jika ada seseorang yang melakukan kejahatan berat didalam masyarakat. Bagaimana jika ditinjau dari ajaran Buddha ? apakah dalam ajaran Buddha juga membenarkan dan mendukung pelaksanaan hukuman mati di Indonesia ini ? apa malah sebaliknya bahwa ajaran Buddha menentang hal demikian, serta apakah tokoh-tokoh umat Buddha ada yang ikut andil dalam masalah ini ?



HUKUMAN MATI
Hukuman mati merupakan hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan berat. Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia Membatasi kemungkinan dijatuhkannya hukuman mati atas beberapa kejahatn-kejahatan berat saja. Kejahatan-kejahatan berat itu dijelaskan sebagai berikut :
1.      Pasal 104 yaitu berisi tentang kejahatan  maker terhadap presiden dan wakil Presiden;
2.    Pasal 111 Ayat 2 berisi membujuk Negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu terjadi dan menjadi perang;
3.     Pasal 124 ayat 3 berisi membantu musuh waktu perang;
4.    Pasal 340 berisi pembunuhan berencana;
5.     Pasal 365 ayat 4 berisi pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati;
6.     Pasal 368 ayat 2 berisi pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati;
Kejahatan-kejahatan demikian yang mengakibatkan hukuman mati di Negara Indonesia. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia menjadi bahan pembicaraan yang cukup actual dan polemik yang berkepanjangan bagi Negara-negara yang beradab. Hal ini di dasari bahwa penerapan hukuman mati tidak sesuai dengan falsafah Negara Indonesia yang menganut paham pancasila, yang selalu menjujung tinggi rasa prikemanusiaan yang adil dan beradab. Namun dalam kenyataannya, penerapan hukuman mati apapaun alasannya dan kelogika nya tetap dilaksanakan di Indonesia dari berbagai kasus tindak pidana yang ada.[2]
Hukuman mati ini merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam bab 2 pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukum mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.[3]
        Hukuman mati tidak dapat dilaksanakan bagi kejahatan yang dilakukan oleh orang dibawah umur 18 tahun dan juga perempuan hamil.[4]
TINJAUAN DALAM AJARAN BUDDHA
Mengenai hukuman mati, dalam ajaran Buddha tidak pernah dibicarakan tentang hukuman tata Negara,apalagi pelaksanaan hukuman mati. Agama Buddha selalu mempertegas dan membicarakan proses sebab akibat yang sering disebut sebagai hukum karma. Dalam Samyutta Nikaya I:227, Sang Buddha bersabda sebagai berikut :
“sesuai dengan benih yang telah ditabur , begitulah buah yang akan dipetiknya
Pembuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan mendapatkan kejahatan pula
Taburlah biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari padannya”[5]
Dari syair ini umat Buddha menyatakan bahwa seseorang yang dihukum mati oleh Negara yang ditinggalinya disebabkan karena suatu perbuatan dari masa lampau maupun sekarang yang menimbulkan hukum karma terjadi pada kehidupan didunia sekarang. Karena dalam agama Buddha mengenal suatu istilah tentang “ jika seseorang melakukan perbuatan jahat di kehidupan lampau maupun sekarang, maka akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perbuatannya (tidak bahagia) “ begitupun sebaliknya jika sesorang melakukan perbuatan bajik di kehidupan lampau atau sekarang maka akan mendapatkan hasil dengan hidup bahagia.
          Sehingga dalam ajaran Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukuman mati. Karena jika hukuman mati itu dibenarkan maka dalam agama Buddha seseorang yang membenarkan tidak memiliki cinta kasih kepada semua makluk ( Metta) karena dalam ajaran Buddha metta merupakan perbuatan yang harus dimiliki semua makhluk dan juga seseorang itu memiliki pandangan salah karena membunuh makhluk hidup merupakan pelanggaran pancasila buddhis yang pertama dan jika tidak dibenarkan maka dalam agama Buddha seseorang yang tidak membenarkan tentang hukuman mati tersebut belum mengetahui dan memahami tentang hukum karma atas perbuatan-perbuatan buruk yang pernah pelaku lakukan. Maka dari itu alasan inilah yang membuat dalam ajaran Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukuman mati.
Dalam Dhammapada, bab X Danda Vagga ( Hukuman ) syair 129 dijelaskan bahwa : “semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan kematian. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan”.[6] Dari syair ini sudah jelas bahwa dalam ajaran Buddha tidak disarankan untuk menyakiti orang lain.



KESIMPULAN
Dari artikel ini dapat disimpulkan bahwa Agama Buddha tidak pernah membicarakan tentang hukuman tata Negara melainkan umat Buddha selalu menegaskan tentang hukum karma. Dalam ajaran Agama Buddha juga tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukuman mati. Karena agama Buddha mendefinisikan bahwa jika seseorang menjadi pelaku hukuman mati tersebut maka itu ada hubungan nya dengan perbuatan-perbuatan jahat (buruk) yang dilakukan pada kehidupan masa lampau atau sekarang yang menghasilkan sebab penderitaan ketika meninggal yakni harus dihukum mati yang biasa disebut sebagai hukum karma. Karena dalam pernyataan ajaran agama Buddha jika seseorang selalu melakukan perbuatan bajik di kehidupan lampau maupun sekarang maka akan menghasilkan akibat yang sesuai dengan perbuatannya, yaitu selalu hidup dalam kebahagiaan. Jika ditinjau dari sila seseorang yang berperan sebagai algojo (yg melakukan hukuman mati) maka seseorang itu telah melanggar pancasila buddhis yang pertama yaitu melakukan pembunuhan makhluk hidup. Akan tetapi jika ditinjau dengan hukum karma , antara algojo dengan seseorang yang menerima hukuman mati ada hubungan karma di kehidupan masa lampau.
SARAN
Dari sebuah artikel yang ditulis ini, penulis menyarankan bahwa jika umat Buddha sudah mengenal ajaran agama Buddha dengan benar maka seseorang itu harus memahami perbuatan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Serta berhubungan tentang hukuman mati ini, seseorang harus bisa memberikan pendapat yang logis sesuai ajaran Buddha yang telah didapatnya dan jangan pernah ikut membicarakan tentang hal ini jika hanya untuk mendukung pelaksanaan tersebut, melainkan selalu mamancarkan cinta kasih agar orang yang telah dihukum mati ketika dia meninggal dapat terlahir dialam yang berbahagia.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,M Zen.2009.Pelaksanaan Mati Di Indonesia Telaah Dalam Konteks Hak Asasi Manusia.Jurnal Ilmiah Universitas Jambi. Hal.61
Kitab Suci Agama Buddha.Samyutta Nikaya 1. Syair 227
Kitab Suci Agama Buddha.Hukuman.Dhammapada Bab X Danda Vagga. Syair 129
Mohammad.2011.Hkuman Mati Dan Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan Perundang-Undangan.Fakultas Hukum Universitas Madura: Yustitia.vol.12
Piangga, Randy.2012.Penerapan Pidana Mati Dalm Sistem Hukum Di Indonesia.Skripsi.Surabaya:Program Sarjana Hukum UPN Veteran. Jawa Timur
Waluyadi.2009. Kejahatan,Pengadilan dan Hukum Pidana.Bandung:Mandar Maju




[1] Mohammad,Hukuman Mati Dan Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan Perundang-undangan,November 2011. Hal 1
[2] M.Zen,Abdullah, Pelaksanaan Pidana Mati Di Indonesia Telaah Dalam Konteks Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Universitas Jambi.2009. hal.61
[3] Randy,Piangga, Penerapan Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Di Indonesia , Skripsi S1 Fakultas hukum ,Surabaya.2012. Hal.22
[4] Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung.2009. hal.57
[5] Kitab Suci Agama Buddha,Samyutta Nikaya 1.Syair 227
[6] Kitab Suci Agama Buddha, Hukuman, Dhammapada Bab X Danda Vagga. Syair 129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar